semoga bacaan ini dapat bermanfaat bagi pengunjung blog ini

Kamis, 20 Februari 2014

Kehidupanku, itulah kematianmu… Bagian 6-Ending (Leirion-Berdamai dengan Tuhan)

Dengarlah hai para malaikat surga, kan kulantunkan lagu ini jauh kesana…
Kan kubuat hatimu menjadi senja yang tak pernah terbit…
Menari tanpa irama, dan bernyayi tanpa suara…
Tertawalah dalam tangisanku, dan menangislah dalam bahagiaku…
Karena hidup tidak akan pernah dapat dimengerti sampai kau benar-benar mati…

(Sajak tentang surga-)


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Hai Vi, maaf sebelumnya kalo gw ga ngasih lo kabar apa-apa, apa boleh buat, gw bukan pencipta waktu, gw ga bisa batasin apa yang akan terjadi, tapi yang pasti semua waktu singkat dan sederhana saat gw ada sama lo, itu saat yang paling bahagia yang dia kasih sama Tuhan, maaf kalo gw ga kasih tahu kalo sebenernya sebelum kita ketemu pun, gw udah kenal sama lo, perkenalan itu juga terjadi ga sengaja, gw adalah salah seorang pesakitan juga, ya mungkin bisa dibilang, kita satu nasib, tapi masalahnya, waktu yang diberikan sama gw itu lebih singkat, gw kenal banyak dokter yang ada di rumah sakit tempat lo biasa check-up karena dari kecil sampe sekarang gw emang sering kesitu, malahan kadang harus ga masuk sekolah beberapa hari dalam satu bulan untuk rawat inap, demi memperpanjang waktu hidup gw,

Gw mengidap Coronary artery disease dan Congestive Heart Failure, secara sederhana gw mengidap gagal jantung dan kelainan fungsi jantung, tapi anehnya salah satu dari ginjal gw berfungsi sangat baik, gw juga salah seorang yang terdaftar sebagai anggota pendonor organ tubuh, dan rumah sakit yang udah tahu keadaan gw yang makin menurun, mengenalkan gw sama profil lo, katanya ginjal gw yang akan direkomendasikan untuk jadi pengganti ginjal lo, waktu denger kabar itu gw seneng banget, karena sebelum akhirnya gw meninggal, masih ada sesuatu yang gw berikan buat orang lain, sejujurnya gw ga tahu kalo kita satu sekolah, beberapa bulan yang lalu, gw mulai coba cari tahu tentang diri lo, sampai akhirnya gw mutusin untuk kenal sama lo, gw ga mau sia-siain waktu yang gw ga akan pernah tahu berakhir kapan, dan lo adalah orang terakhir yang gw kenal, dan misi ketiga gw, yang juga misi terakhir adalah mendonorkan ginjal gw, sesuatu dan satu-satunya hal terakhir yang bisa gw bagiin sama orang lain, sama lo Vi, makasih buat perkenalan singkat dan sederhana, maaf kalo gw udah menyusahkan lo dengan maksa lo kenalan, semoga lo ga nyesel kenal sama gw, karena gw merasa beruntung kenal sama lo, sampe ketemu lagi suatu hari nanti, jaga hidup lo baik-baik, dan buat orang lain berdamai dengan Tuhan…”
RAIN

Entah apa yang harus aku katakan kini? entah apa yang harus aku perbuat kini? Harus senang karena ginjalku telah pulih, atau harus sedih ketika harus kehilangan seseorang yang tulus dan sangat berharga, dulu aku sama sekali tidak bersemangat untuk hidup, tapi kini hidupku sepertinya menjadi tanpa alasan,aku sangat tidak ingin menyusahkan siapa pun, tapi kini setiap nafas yang kuhembuskan, setiap detik yang kulewatkan, semua aku terima dengan perjuangan orang lain, perjuangan papa, mama, bahkan Rain, yang baru saja aku kenal bulan ini… ahh, kenapa? Kenapa? Kenapa Tuhan harus membuatku menjadi benalu yang tak terhancurkan? Tapi malah tubuh menjadi bunga yang baru? Sebuah bunga liar yang tumbuh dengan kuat…
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini kesekian kalinya aku gagal melakukan percobaan bunuh diri, setelah pulih dari operasi, aku memutuskan untuk tidak mengkonsumsi lagi obat yang diberikan dokter, berharap kondisiku memburuk, ternyata Tuhan bertindak lain, entah apa yang Ia pikirkan, tapi aku tetap sehat dan tangguh… hidup ini memang tidak pernah dapat diprediksi.
Seseorang membuka pintu kamarku, sementara aku hanya tertunduk, masih memikirkan bagaimana cara mengakhiri hidup yang mempersulitku, aku mengangkat wajahku perlahan, dan aku melihat Timmi, sahabatku…

“Plak…” Tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipi kananku, sakit memang, tapi tak sebanding dengan rasa sakit yang ada di hatiku. Aku hanya tertunduk kembali dan diam.
“Bodoh…” Katanya Keras dan tegas, membuatku sungguh tak nyaman, membuat syaratku menegang, dan aku sungguh takut. perlahan aku mendengar sayup-sayup rintihan, aku dapat merasakan isak tangisannya, ia menangis kini… aku tak pernah melihat Timmi menangis, sejak pertama aku mengenalnya, ini yang pertama kalinya.
“Maaf…” Kataku padanya. Aku jelas tahu dimana letak kesalahanku, tapi entah kenapa aku masih tidak dapat mengubahnya.
“Gw dateng bukan buat lo, gw dateng buat Rain, setelah semua yang udah terjadi, dan semua kesempatan yang dibuat untuk hidup lo, lo harus sadar dan ga buang semuanya gitu aja…”
“Maafin gw…” Kataku lagi, kali ini aku mengucapkannya dengan kesungguhan, aku tersadar, aku terlalu bodoh dan menyia-yiakan sesuatu yang seharusnya aku pertahankan dan perjuangkan dengan baik, tidak akan pernah ada yang dapat membeli kebesaran hati, kerendahan hati, serta kemampuan untuk memperjuangkan hati, semua harus dilalui dan diputuskan untuk dijalani dengan baik, sama seperti kebesaran dan kerendahan hati Rain yang tidak pernah dapat terdefinisikan oleh siapa pun, bahkan diriku sendiri… aku siap menanggung tanggung jawab yang telah Rain dan Tuhan berikan padaku, tanggung jawab untuk hidup, dan hidup untuk membagikannya bagi orang lain, bukan untuk diriku sendiri, hidup untuk membuat orang lain bahagia, sama seperti yang Rain telah lakukan untukku.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari ini aku memegang leirion itu erat, sebenarnya sangat tak ingin melepaskannya, tapi jauh yang kukira kadang melepaskan sesuatu membuat kita belajar akan sejauh mana ia berharga bagi hidup ini, Rain… aku persembahkan Leirion, sebuah bunga kematian, tapi juga lambang dari kebahagiaan, simbol ketulusan, kesucian, sama seperti hatimu yang tulus padaku… tak akan pernah aku lupakan semua yang waktu yang sederhana itu, setiap senyuman dan sikapmu mengubah caraku memandang dunia, dan kini, misimu telah selesai Rain, aku telah berdamai dengan Tuhan, bahkan kini, aku telah bersahabat denganNya, berharap Ia dapat menyampaikan salamku padamu, padamu yang ada jauh kini denganku… tapi akan kusimpan dalam hatiku.

Aku memang tidak akan pernah bertemu denganmu lagi disini, bahkan nanti jika ada kehidupan yang lain, tapi aku ingin selalu mengucapkan terimakasih atas kesempatan yang Tuhan buat lewat hidupmu pada diriku, dan sesekali aku melihat langit, aku melihat bunga, dan semua hal yang pernah kau ciptakan sebagai bahasa untuk membuatku mengerti… terimakasih untuk hatimu yang telah mengajarkan padaku sejauh mana aku harus bersyukur, kini aku dapat memandang hidupku dengan jalan yang lebih baik…

Bukan soal berapa banyak hal yang kamu lakukan
Tapi…Ini soal seberapa cinta yang kau taruh Di tiap hal yang kau lakukan…

(Mother Teresa)




*THE END

Kehidupanku, itulah kematianmu bagian 5 (Bahasa bunga-floriograpy)

Sempurnakan jerit setangkai bunga agar mimpi jangan gelisah,
Waktu pagi dibasuh tangisan kecil, tapi aku tak ingin siapa pun mengusik ujung kelopaknya
Sebab setiap tetes embun Adalah suara rintihan riwayat Kerinduan
kutatap dirimu dengan cinta,
kudendangkan hingga ke pelosok surga,
Wahai bidadari, yang terus menghias relung-relung hati,
Tiada pernah cukup kurasa,
Sejuta puisi tentang cinta,
Segudang pantun sang pujangga,


(Romansa setangkai bunga-Arsyad Indradi & Embun hati-Pulau dewata)

Aku tersadar dari tidurku yang cukup panjang, rasanya senang dapat menghirup nafas kembali, seperti yang telah aku prediksi sebelumnya, ya… aku berakhir di tempat paling menyebalkan yang pernah aku kenal “Rumah sakit” tempat para pesakitan berharap keajaiban, entah pada dokter, obat, Tuhan, atau hanya sekedar berjudi dengan hidup mereka masing-masing.

“Penyakitnya yang sudah masuk dalam stadium 5, apalagi dengan gejala uremia, sudah pasti ia memerlukan terapi pengganti ginjal, hemodialisis sudah tidak terlalu bermanfaat kini…”
Aku mendengar kata-kata itu dari jelas dan nyata, pembicaraan seorang dokter dan perawat, percakapan medis yang tidak seharusnya di dengar oleh pasien seperti aku, tapi mungkin mereka tak tahu bahwa aku telah sadar, lagipula aku pun tak terlalu banyak berharap pada keajaiban, keajaiban hanya datang pada mereka yang menantikannya, bukankah begitu?

Dokter dan perawat itu keluar dari ruang kamarku, sebuah ruang yang mungkin terlihat tersterilisasi, namun ini hanyalah kamar biasa, aku tahu pasti keluargaku lah yang memberikan tempat terbaik padaku, aku memandang meja disamping ranjangku, aku melihat sebuah surat dan setangkai bunga matari yang dicelup dalam wadah berisi air jernih, aku mengumpulkan tenagaku untuk sekedar membuka surat itu, karena toh tidak ada lagi yang dapat aku lakukan disini…

“Bunga Matahari… ia dinamakan bunga matahari karena ia selalu setia mengikuti kemana arah matahari bergulir, pada pagi hari bunga matahari akan menghadap kearah timur, dan ia terus mengikutinya seiring matahari bergerak kesebelah barat tempat matahari terbenam-Cepat sembuh, bersinarlah… dan berdamailah dengan Tuhan…”
RAIN


Sebuah pesan sederhana dari Rain, ternyata ia yang meletakan bunga itu dan menulis suratnya? Tapi kemana dia kini? Aku memandang sekeliling kamarku, berusaha mencari-carinya, aku melihat mama yang tertidur dibangku dekat ranjangku, aku tahu mungkin ia telah lelah menemaniku tadi malam, aku kini lelah dan bosan, apakah aku harus berakhir dirumah sakit?
“Vi… kamu udah sadar?” Kata mama yang tiba-tiba terbangun.
“Iya ma…” Jawabku pelan, tenagaku belum terkumpul baik.
“Masih terasa sakit nak?”
“Udah ga kok ma, Cuma lemes aja…”
“Yaudah kamu tidur aja ya, istirahat yang banyak…”
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pagi ini, aku mendapat kiriman bunga lagi, entah kapan datangnya, tapi yang pasti saat aku membuka mataku, telah ada yang meletakannya di atas mejaku, tapi kali ini bunga yang berbeda, beberapa bunga Lili, dan tentunya sebuah surat lagi…

“Lily yang manis dan sederhana, meski rapuh, namun ia tetap cantik. Tidak ada alasan menyangkal kecantikanmu meskipun dalam kerapuhan… sudah berdamai dengan Tuhan?”
Rain


Apa-apaan ini? Apa Rain ingin membuatku penasaran lagi? Kali ini ia membuat “terror bunga” sebenarnya, aku sangat ingin ia sekedar datang dan menyapaku, karena meskipun kami hanya saling mengenal sebentar, kehadirannya sungguh dapat selalu menemaniku.
Dengan alasan kondisi yang kurang baik, akhirnya aku tetap tinggal dirumah sakit untuk beberapa hari, teman-temanku berdatangan untuk sekedar memberi semangat, aku menyambut mereka dengan baik, meskipun sebenarnya bagiku kehadiran mereka tidak banyak membantu, tapi kemana Rain? Sudah hampir satu minggu dan ia tidak muncul juga? Hanya ada bunga dan kartu ucapan setiap paginya, kemarin ia memberiku bunga tulip dua warna, aku tak maksudnya, tak ada catatan yang terselip lagi disana, seorang perawat yang merawatku berkata, tulip dua warna, Merah dan kuning memiliki banyak arti, merah berarti rasa kepercayaan, sedangkan kuning berarti harapan dan melupakan kegagalan, jadi apakah aku harus percaya pada harapan? Sedangkan hari ini ia mengirimiku yang lain lagi tiga tangkai mawar merah muda, tanpa pesan tentunya.

“Kamu dikirimi bunga lagi?” Kata perawat yang ada dikamarku.
“Iya, tapi aku masih ga ngerti artinya.”
“Hmm… mawar merah muda itu berarti ungkapan kebahagiaan, sedangkan tiga tangkai melambangkan kehormatan, mungkin artinya adalah sebuah kehormatan bagi si pemberi, apabila yang menerima menjadi bahagia.”
“Oh, begitu ya, terimakasih ya…” Aku berpikir sejenak sementara perawat itu melakukan pemeriksaan rutinnya, aku memandai bunga kiriman itu, sesungguhnya aku sama sekali tidak butuh bunga, aku hanya ingin melihat Rain, ada kerinduan atas kehadirannya, entah kenapa, aku sangat ingin ia disini, dan tidak menghilang begitu saja.
“Beberapa hari lagi akan ada operasi transplantasi ginjal, jika kondisi kesehatanmu tidak membaik…” Kata perawat itu padaku
“ ….” Aku hanya diam, aku hanya menerima apapun yang akan terjadi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Hai Vi…”
“Timmi, mana Rain?”
“….” Nanti setelah operasi gw akan cerita tentang dia.
“Hah? Emang kemana dia sekarang? Kasih tahu gw…”
“Sorry Vi, gw ga bisa, nah besok kan lo mau dioperasi, gw Cuma mau ngasih titipan dari Rain...” Timmi sebuah rangkaian bunga, entah bunga apa, dan entah apa artinya, aku tak pernah tahu.
“Kemana dia? kok ga dateng ngunjungin gw? Padahal kan gw mau dioperasi.” Tanyaku agak sinis.
“Gw ga bisa kasih tahu sekarang, maaf Vi, gw Cuma berharap lo cepet sembuh.” Dalam wajah Timmi ada tersimpan sesuatu yang benar-benar rahasia, padahal ia tak pernah menyimpan sesuatu dari diriku. Ia meninggalkan kamarku sementara aku masih saja merenung, aku tidak sama sekali memikirkan tentang operasi ini, aku memikirkan Rain, kenapa ia sungguh menyebalkan? Datang dan pergi begitu saja, datang lalu menghilang, apakah dia benar-benar orang baik? Atau hanya sekedar mau mempermainkan perasaanku? Apa maksud dari semua bunga dan pesan kirimannya? Apa maksudnya saat aku harus berdamai dengan Tuhan?
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari ini adalah hari dimana aku akan dioperasi, hari yang cukup menegangkan bagi beberapa orang, dan hari ini perasaanku juga campur aduk, tak karuan apa jadinya.
“Vi… udah siap kan?” Tanya mama sambil menyemangatiku.
“Iya ma…”

Aku memasuki ruang operasi dengan perlahan, di dalam ruangan ini telah berkumpul beberapa ahli medis yang akan melakukan tugasnya, aroma rumah sakit semakin menyengat mungkin karena ada banyak obat disini. Aku dibius total, mungkin karena ini operasi organ dalam, lagipula aku juga sangat tidak ingin dan tidak tahu saat mereka benar-benar membelah tubuhku. Dan aku pun mulai tidak merasakan apa-apa, aku lemas, dan aku makin lemas saja, entah mungkin ini pengaruh dari obat bius itu…
Entah kenapa operasi itu terasa sangat singkat, aku telah kembali ada dikamarku, aku hampir tidak merasakan apa-apa, hanya saja dibagian perut bawahku masih terasa nyilu dan sakit jika bergerak. aku memandang ke arah meja tempat bunga biasa diletakan, kali ini aku merasa berbeda, ada yang menggangu pandangaku, sebuah surat, tapi kali ini surat berbentuk bunga, di atas surat itu tertulis “RAIN-Pesan terakhir”
Aku kaget dan penasaran, apanya yang dimaksud dengan pesan terakhir? Aku bergegas membuka surat itu…

Kehidupanku, itulah kematianmu bagian 4

“No Heart, No hurt…”
Saat Tuhan membuat ginjalku rusak, secara tidak langsung Ia juga membuat hatiku rusak, dan terasa sangat sakit… bahkan kini aku hampir tidak dapat merasakan keindahan perasaan, apa yang selama ini aku dambakan, bukanlah yang aku dapatkan.

“Tim, lo lagi sama Rain ga?” Kataku menghubungi Timmi karena telpon Rain yang putus ditengah pembicaraan kami.
“Nggak tuh, emang kenapa ya?” Tanya Timmi.
“Yaudah deh ga apa-apa, makasih yah…”
--------------------------

------------------------------------------------------------------------------------------
Rain benar-benar membuatku penasaran, setelah pembicaraanku bersamanya yang terputus itu, ia menghilang seketika, ia berhenti dengan semua tingkah anehnya padaku, apa karena ia telah berhasil saat aku menerimanya sebagai temanku, atau ia benar-benar muncul, lalu menghilang begitu saja? Sungguh menyebalkan…

“Rain kemana? Udah lama gw ga liat dia?”
“Tumben lo nanyain dia…”
“Pengen tahu aja…”
“Dia udah 3 hari ini ga masuk tanpa kabar, ga tahu kenapa mulai kelas XI ini dia memang sering begitu, tiba-tiba ga masuk beberapa hari, terus masuk lagi, biasanya hampir sebulan sekali…”
“Ohhh…” Kataku sambil menghela nafas panjang, ternyata ia memang orang yang aneh dan sama sekali tak terduga.
“Oiya, besok kan ulangtahun lo Vi, jangan lupa traktir ya, heheheh…”
“Udah dateng aja ke rumah gw, gw ga ngundang siapa-siapa, tapi yang dateng pasti nanti dapet makan dari gw…”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Vi, kamu mau apa di ulangtahun kali ini?” Kata papaku padaku. Sementara aku hanya diam, aku sama sekali tidak ingin apa-apa, sama sekali tidak butuh apa-apa.
“Vi??” Kata papaku lagi.
“Ga usah pa, makasih…” Aku meninggalkan papaku dengan wajah murung, aku memang tidak ingin membuatnya sedih, tapi aku tahu apa yang ia rasakan, ia selalu menginginkan yang terbaik bagiku, meskipun kadang hidup tidak pernah sesuai dengan pesanan. Aku adalah anak tunggal, yang selalu menyusahkan keluargaku, aku tidak ingin hal itu terjadi, tapi entah kenapa hal itu dibiarkan terjadi, seperti yang banyak orang bilang bahwa ada maksud yang baik di atas semua hal buruk yang terjadi, aku masih menunggu saat-saat yang terbaik itu datang, entah kapan…
“Vi, Rain telpon…” Kata mama. Aku bergegas mengangkat telpon itu, entah kenapa, mahluk aneh bernama Rain itu membuat sangat ingin mendengar kabar darinya.
“Halo…” Kataku.
“Hai Vi, Maaf ya kemarin putus, lo bisa dateng ke danau kecil deket sekolah ga? gw tunggu satu jam lagi ya, kita ketemu disana, gw mau kasih tahu misi kedua…”
“Tapi, mau apa disana?”
“Udah dateng aja, gw tunggu ya… Bye…”
“Rain, tunggu…” Ia mematikan telponnya lagi, sungguh kebiasaan yang menyebalkan.

Aku berpikir cukup lama hanya untuk memikirkan kata-kata dari Rain, ia menyebalkan, membuatku sangat penasaran, tapi aku sangat menginginkan kehadirannya…
“Aku tidak mau datang, aku tidak akan datang…” Kata-kata itu terus menerus kuulang, tapi entah kenapa akhirnya aku memutuskan untuk datang, mungkin karena rasa penasaranku yang besar pada sosok Rain dan misinya.

Aku berdiri di atas jembatan, tepat di dekat danau itu, suasana cukup dingin, padahal masih sore hari, disini tidak terlalu ramai, hanya ada sekumpulan anak yang bermain, dan beberapa orang yang sekedar lewat, sebuah tempat yang baik untuk sekedar menerung.
“Hai Vi…” Kata Rain menyambutku dengan senyum khasnya.
“Kenapa sih lo tiba-tiba menghilang, terus muncul dan nyuruh gw ke tempat kayak gini??” Kataku agak marah padanya.
“Iya. Maaf ya Vi, Oiya Happy birthday yah…” Katanya sambil mencoba menyalamiku, sementara aku hanya acuh terhadapnya, masih kesal tentunya…
“Jangan marah terus Vi, kan kita udah temenan, nih ada kue buat lo..” Katanya sambil membuka kotak kecil yang memang dari tadi ia bawa. Ia menyalakan lilin dan bernyayi untukku, lagu “Selamat ulang tahun” yang dilantunkan sederhana dari dirinya dengan wajah yang tulus, aku masih diam, tapi di dalam hatiku, misi membuatku tersenyum telah sangat berhasil, dan mungkin ini yang dinamakan “bahagia” oleh banyak orang selama ini. Aku meniup lilin itu, ia membagi potongan kue itu menjadi dua dan aku tersenyum, tidak dalam hati, kali ini aku benar-benar tersenyum!
“Oiya, Vi liat kebawah danau deh…”

Aku menoleh ke bawah dan melihat namaku disana, ternyata Rain membuat namaku dari lilin apung dan meletakannya di danau, indah dan menarik, apa lagi matahari sore ikut membuatnya terlihat lebih hidup.
“Makasih yah…” Kataku padanya.
“Iya, ini juga buat lo.” Ia memberikanku sesuatu, sebuah buku, aku melihatnya sebentar, buku itu berjudul “In God’s Hand-dalam tangan Tuhan”
“Trus apa misi kedua lo?” Tanyaku lagi padanya.
“Misi gw yang kedua adalah membuat lo berdamai sama Tuhan.”
“Maksudnya?”
“Ya coba aja lo pikirin sendiri, hehehe…” Kami bicara banyak hari itu, dan hal yang sama aku rasakan lagi, sebuah kenyamanan atas kehadiran sosok yang menyebalkan ini.
“Udah mulai gelap nih, pulang yuk, ntar lo ditanyain lagi…”
“Oke, gw juga takut ditanyain…”

Aku bangun dari bangku taman di dekat danau itu, aku berjalan bersamanya, rumahku memang tidak terlalu jauh dari sana, mungkin hanya menempuh perjalanan 15 menit.
“Vi, lo kenapa?” Kata Rain padaku.
“Gw kenapa emangnya?”
“Jalan lo mulai ga beres nih…” Kata Rain lagi padaku. Dan selang beberapa detik, mulai terasa hal yang aneh dalam tubuhku, aku mual, aku muntah seketika, aku lemas… aku bahkan tidak mampu untuk berdiri diatas kedua kakiku sendiri, aku goyah dan hampir jatuh kini. Oh Tuhan, jangan sampai aku jatuh disini, jangan sampai Rain tahu tentang penyakitku…
“Vi, lo kenapa Vi? Vi??” Kata Rain, dan suaranya terdengar semakin mengecil dalam telingaku, wajahnya terasa semakin kabur dalam pengelihatanku…

Kehidupanku, itulah kematianmu bagian 3

“Semakin besar masalah hidup yang kamu alami, semakin kuat kamu akan tumbuh, karena masalahlah yang membuktikan kehidupan kita itu ada…”

Memang mudah jika berkata seperti itu tanpa mengalami pengalaman menyebalkan seperti yang aku dan sebagian orang lain alami, aku tahu maksud dari kata-kata itu memang baik, tapi tetap saja aku menolaknya mentah-mentah, aku keluar dari ruang pengajaran seorang penceramah itu dengan perasaan kecewa, entah kenapa hanya kecewa.

Ini sudah seminggu penuh, seminggu aku terganggu dengan tingkah Rain, mahluk menyebalkan yang pernah mengajakku berkenalan, setelah peristiwa Rain menghampiriku dikelas, ia mulai memulai “terror perkenalannya” ia terus menerus mengirimiku email, menelponku, bahkan ini sudah hari ketiga, ia mengunjungi rumahku dan menjemputku berangkat ke sekolah, itu yang menyebabkanku harus berangkat lebih pagi kini, menghindari Rain tentunya.

“Eh, temen lo makin menjadi-jadi tuh sama gw!” Kataku membentak Timmi, ia selalu jadi sasaranku atas tingkah Rain, ya jelas karena ia adalah sahabatnya, yang aku rasa dapat sekedar memperingatkan Rain dan mengurangi sikap menyebalkannya itu.

Sama seperti sore-sore biasanya, aku memiliki kebiasaan untuk duduk dibawah pohon tidak jauh dari rumahku dan menulis beberapa catatan kecil, catatan-catatan inilah yang menjadi pelampiasan semua perasaanku selama bertahun-tahun.

“Hai…” Kata Rain, seorang tamu yang tidak terduga datang, aku bingungan, bagaimana ia tahu aku ada disini?
“Ngapain lo kesini?” Kataku dengan suara setengah membentak.
“Tadi gw kerumah lo, nyokap lo bilang lo biasa duduk disini, jadi gw dateng deh…” Katanya lagi dengan senyuman yang khas, senyuman yang sama ketika ia pertama kali mengganguku.
“Udahlah, jangan ganggu gw!”
“Gw ga akan ganggu kok, gw Cuma mau duduk aja, boleh kan?” Katanya sambil duduk disebelahku dengan jarak beberapa centimeter. Aku melanjutkan kegitan menulisku, sementara ia diam dan tertunduk, tanpa suara… tapi kehadirannya menemaniku, meskipun menyebalkan dan aku tidak terlalu mengenalnya, harus aku akui bahwa perjuangannya untuk mengenalku sangat gigih.
“Emm, gw boleh Tanya sesuatu ga?” Kataku padanya, agak ragu tapi sungguh penasaran.
“Boleh, mau Tanya apa?” Katanya sambil mengangkat wajahnya dan memandangku, pandangan yang dalam, entah kenapa, dari matanya aku dapat melihat ketulusan.
“Kata Timmi lo punya misi yang mau dilaksanain dan itu menyangkut gw?”
“Wah, si Timmi tukang gossip juga tuh, parah-parah…”
“Jadi apa misinya?” Kataku agak melembut, entah kenapa, aku merasa nyaman bersamanya, dan kehadirannya membuatku merasakan sesuatu yang berbeda.
“Jadi mau tahu apa misinya nih? Tapi ada syaratnya… hehehe..”
“Apa misinya? Apa syaratnya?”
“Syaratnya lo mau dulu jadi temen gw, ntar baru gw kasih tahu apa misinya…”
“Yaudah deh…” Kataku agak terpaksa, aku sungguh penasaran dengan Rain, mahluk menyebalkan yang dapat membuatku nyaman.
“Sebenernya gw punya 3 misi, yang dua ntar bakalan gw kasih tahu nanti, tapi misi yang pertama gw pengen buat lo senyum, itu aja…”
“Hahhh? Ga penting banget sih lo!!?” Kataku agak kesal, karena rasa penasaranku sama sekali tidak terpenuhi, setelah obrolan singkatku itu, aku memutuskan untuk pulang, Rain mengantarku, meskipun masih terasa sangat janggal, dan apa dua dari tiga misi lain yang ia punya? Sejujurnya misi pertamanya berhasil hari ini, ia berhasil membuatku tersenyum, tersenyum dalam hatiku, aku cukup senang mendapat teman baru yang aneh dan menyebalkan, setidaknya itu membuat masalahku berkurang sedikit, dan “terror perkenalan” pun berakhir, saat aku memutuskan untuk berteman dengan sang peneror itu sendiri.
--------------------------

------------------------------------------------------------------------------------------
“Ma, kapan aku bisa berhenti ke dokter dan jadi normal?” Kataku pada mama menjelang hari rutinku untuk hemodialisis.
“Mama juga ga tahu, tapi mama juga mau secepetnya.” Kata mamaku sambil tersenyum, sebuah senyuman yang terpaksa, senyuman untuk membuatku tidak bersedih, padahal aku tahu, dalam hatinya ia sungguh berduka atas semua yang terjadi padaku, tapi yang aku pelajari, jika kau menangis, tak ada yang akan berubah sama sekali, jadi apa untungnya menangisi hidup?
Ini sudah tahun kedua aku rutin datang kerumah sakit, semenjak kelas 9 dan di vonis sakit, aku harus menjalani semuanya… menjalaninya sampai sekarang, seorang pesakitan yang harus terus bertahan sampai akhir…
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jarum diangkat dari tanganku, setelah penukaran darah itu selesai, lemas rasanya, tapi ini lebih baik daripada semua racun mengendap dan menggangu semua fungsi tubuhku.
“Vi, ada telpon nih…” Kata mamaku.
“Dari siapa ma?”
“Rain…”
“Hah? Mau ngapain dia?”
“Halo, Vi… bisa keluar sebentar ga?”
“Mau apa?”
“Mau ngomong sesuatu…”
“tut… tut… tut…”

"Kehidupanku, itulah kematianmu" (Bagian 2)

“Jadi apa takaran untuk mengukur seberapa adil Tuhan itu?” Kataku sambil membanting sebuah laporan medis yang diluar nalarku.

“Kamu tidak berhak mempertanyakan seberapa adil Tuhan, seperti apapun keadaannya.” Kata Mama padaku. Sementara aku hanya diam, karena meskipun aku menangisi semua yang terjadi, toh keadaan tak akan pernah berubah, tangisan dan kesedihanku tak akan mengubah apapun, yang jelas sekarang aku dan sisa-sisa hidupku harus terus bertahan. Dan hari itu adalah hari pertama aku mempertanyakan tentang diriku dan kehilangan aku yang dulu, kehilangan kata “hidup” kita semuanya hanya kata “mati” bagiku.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Namaku Videl, dan untungnya aku masih ingat namaku, walaupun semenjak hari itu aku terus mengutukinya, dan bermusuhan dengan semua orang yang ada didunia ini, alasannya hanya satu, karena aku iri dengan mereka semua, iri dengan hidup mereka yang baik-baik saja, iri saat mereka dapat tertawa lepas, iri saat mereka menikmati apa yang ada pada mereka.

“Vi, udah siap? Kita berangkat sekarang?” Kata Mama padaku.
“Iya ma, udah siap kok...” Kataku dengan wajah yang tak karuan, tak siap sama sekali dalam hatiku.
“Acute Renal Failure” itu yang aku alami kini… sebuah organ seberat 150 gram yang ada didalam tubuhku kini mengalami kerusakan permanen, sehingga tidak dapat lagi bekerja dengan baik, itu yang menyebabkanku harus terus menerus melakukan hemodialisis paling tidak satu minggu sekali, dan rasanya sangat tidak enak bagiku, aku sering mual, bahkan muntah tanpa sebab, dan aku tidak pernah dapat tidur dengan nyenyak…
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Eh, Vi… ada yang mau kenalan tuh sama lo…” Kata Timmi, teman sekelasku di XI IPA.
“Kenalan? Buat apa? Nggak ah, gw sama sekali ga minat tuh.” Sementara aku masih sibuk dengan urusanku sendiri.
“Tega banget sih lo, anak bahasa loh, baik kok, temen gw dari kecil.”
“Udah ah, ga usah ganguin gw.” Aku pergi meninggalkannya, karena menurutku itu bukanlah hal yang penting bagiku.
Suasana kelas sangat sepi, maklum jam istirahat, mereka semua sibuk ke kantin atau sekedar bermain dengan mimpi-mimpi mereka diluar, sementara aku hanya ada di dalam kelasku ini, menjalani aktifitasku sambil menunggu waktu untukku berhenti hidup.
“Hai…” Kata seorang pria menyapaku sambil mengulurkan tangannya. Sementara aku menoleh sebentar, lalu memalingkan wajahku, sama sekali tidak berminat.
“Gw Rain, temennya Timmi, dan gw mau kenal sama lo…” Katanya ramah, sambil duduk disebelahku, tanpa diundang! Sungguh mengesalkan, aku tak terbiasa digangu seperti ini. Aku yang tidak terlalu mengenalnya tapi cukup muak dengan tingkahnya, aku memutuskan untuk meninggalkan kelas itu, pergi ke tempat lain untuk sekedar menghindari ganguan darinya, dan berharap ia akan menyerah dengan semua sikapku yang sama sekali tidak bersahabat.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Eh, bilangin ya sama temen lo, jangan sok kenal sama gw!” kataku sambil membentak Timmi, yang sebenarnya tidak terlalu bersalah dalam hal ini.
“Tapi Vi, gw juga bingung, dia itu ga pernah sama sekali mau kenalan tiba-tiba sama cewek, setau gw, dia itu baik, tapi aneh waktu gw certain tentang lo, dia malah tertarik…”
“Emang lo cerita apa tentang gw? Awas lo kalo cerita-cerita lagi.”
Hari itu jadi hari yang cukup menyebalkan buatku, setelah sekian lama tak ada menggangu hidupku sama sekali, kini muncul sesosok yang aneh dan sangat menjengkelkan, aku hanya berharap dia menyerah dan tidak mengganguku esok harinya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Gw udah bilangin sama si Rain supaya nggak ganguin lo lagi, tapi dia bilang kalo dia itu punya semacem misi rahasia yang harus dilakuin, dan misi rahasia itu menyangkut lo, tau tuh anak, tiap hari makin aneh aja.” Timmi datang dan memulai pembicaraannya denganku hari itu.
“Emang sejak kapan lo kenal sama dia?” Tanyaku mulai penasaran, sebenarnya Rain juga mungkin bukan orang jahat, hanya saja dia salah jika ingin mengenalku.
“Udah dari kecil, dia itu tertutup banget, tapi selama gw kenal sama dia, dia sama sekali ga pernah buat masalah, dan dia itu selalu bantuin semua orang yang ada disekitarnya…”
“Hai, lagi pada ngerumpi nih?” Rain datang dan membuat kami diam, wajar saja, karena orang yang kami bicarakan tiba-tiba muncul didepan kami secara tiba-tiba.
“Jadi bolehkan gw jadi temen lo?” Katanya sambil tersenyum lebar dan duduk mendekat dengaku dan Timmi. Aku tetap tak banyak bicara, aku pergi begitu saja, tanpa menghiraukannya, kejam mungkin, tapi aku mohon jangan mengenalku terlalu jauh, aku tak cukup punya waktu untuk sekedar bersahabat atau lebih dari itu, jika ingin berkata bahwa ini tidak adil, katakana itu pada Tuhan, dan tanyakan alasannya padaNya juga.

Tapi yang masih menggangu pikiranku adalah “misi rahasia” yang ingin dikerjakan Rain, dan itu melibatkan aku??





*Bersambung

“Kehidupanku, itulah kematianmu…”

“Apa yang kau lakukan jika tidak ada lagi satu pun alasan untukmu hidup?”

Aku tak bisa lagi menahan tangisanku saat aku menulis kata terakhirku itu, entah apa yang aku pikirkan hari ini, ditempat ini, diwaktu yang seperti ini, yang aku tahu sekarang adalah bahwa apa yang benar-benar pernah membuatku hidup itulah yang mengharuskan aku untuk mengakhirinya pula... andai aku mengerti sejak lama, mungkin takkan pernah kubuang waktuku yang tersisa untuk sekedar mengenalmu atau setidaknya tidak membiarkanmu membuatku hidup lebih lama… tapi kini yang bisa kulakukan hanya tertunduk, dalam diam, dalam gelap, yang sebentar lagi akan menuju ke kegelapan yang bahkan lebih abadi… aku tidak layak, bahkan tidak pernah layak untuk mendapatkan kesempatan keduaku…

Aku mengambil sebuah pisau kecil dari balik laci kamarku, meletakannya diatas sebuah kertas dua halaman yang aku juluki “pesan terakhir” aku menahan nafas sejenak, lalu menghembuskannya panjang, bersiap untuk melakukan hal yang memang telah aku rencanakan sebelumnya, mengumpulkan sisa-sisa keberanianku, lalu dengan tegas dan yakin aku mengambil pisau kecil itu dari atas meja, perlahan meletakannya diatas nadi kiriku aku mulai mengayunkannya lembut keatas tanganku itu, perih… sakit… tapi ini lebih baik dari semua sakit hatiku, perlahan muncul cairan merah pekat dari tanganku, aku mengangkat pisau itu sejenak, terlihat goresan kecil, tapi tidak dalam, dan ini belum cukup membunuhku… aku mencobanya sekali lagi, dan untuk kali ini aku menggoresnya lebih dalam, cairan merah itu bertambah banyak, bahkan membasahi semua tanganku kini, tapi anehnya aku tak lagi merasakan semua sakit, dan aku menggoresnya lebih dalam…

“…”

Tanpa terasa pisau itu terjatuh, suaranya nyaring terdengar dalam kamar yang sunyi ini, tanganku penuh darah, aku kehilangan tenaga, kehilangan arah, dan sebentar lagi akan kehilangan hidup, tapi setidaknya ini lebih baik daripada aku harus hidup tapi selalu saja ingin mati… pandanganku kabur, semuanya terlihat sangat buruk kini, aku mulai menutup mataku, dan perlahan terlihat bayangan-bayangannya lagi, terlihat semua tentang dirinya… kakiku mulai goyah, aku tertunduk, dan kini terjatuh… aku bersandar pada ranjang kamarku yang kini terlihat lebih gelap dari sebelumnya… bersabarlah sayang, tak lama lagi aku akan ada bersamamu, bersamamu untuk yang kedua kalinya, bersamamu dikehidupan yang lain…




*Bersambung…